Investasi Portofolio

Minggu, Maret 14, 2010

pelan-pelan saja: pemulihan atawa balon siap letus ... 140310

Ika Akbarwati
Associate Analyst Vibiz Research Center
Bubble Ekonomi, Potensi di Tahun 2010
Kamis, 04 Maret 2010 21:00 WIB


(Vibiznews – Economy) – Akhir-akhir ini kita sering membaca dan mendengar istilah bubble ekonomi. Kebijakan pemerintah dan bank sentral China untuk mengurangi likuiditas dengan cara menaikkan GWM perbankan disebut-sebut sebagai langkah untuk mencegah bubble pada ekonomi di negara tersebut. Istilah ini menjadi begitu popular di setiap pembahasan mengenai pengetatan moneter di China. (04/03)

Istilah bubble ekonomi (biasa juga disebut sebagai bubble spekulatif, bubble pasar, bubble harga , dan bubble keuangan) adalah kondisi di mana keadaan perekonomian tidak sehat terjadi akibat timbulnya spekulasi yang menaikan harga-harga di mana seringkali kenaikan harga tersebut akan menimbulkan spekulasi lanjutan yang kembali menaikan harga-harga lagi. Pada akhirnya, harga-harga yang tidak realistis itu akan mencapai puncaknya, dan jatuh kembali ke nilai realistisnya secara bersamaan sehingga perekonomian mengalami crash (krisis).

Biasanya bubble ini disebabkan pola investasi di mana para investor percaya terhadap teori "greater fool" (orang yang lebih bodoh). Misalnya, di dalam bursa saham atau real estate, para investor melakukan investasi di sebuah properti/saham pada nilai yang over-valued namun mereka percaya dan pada akhirnya dapat menjual properti/saham tersebut dengan nilai lebih tinggi lagi kepada orang lain agar mendapat untung. Lama kelamaan, orang akan sadar bahwa properti/saham itu telah over-valued dan tak dapat dijual lagi sehingga semua harga jatuh dan para investor mengalami kebangkrutan. Dalam kasus ini, disebut juga stock market bubble. Dan inilah yang mengakibatkan krisis di Jepang pada akhir 1980an.

Bubble ekonomi di Jepang terjadi pada periode 1986 – 1991. Saat itu harga property dan saham mengalami kenaikan yang sangat tajam dalam waktu singkat. Kolapsnya bursa saham Jepang yang mengikuti meledaknya bubble tersebut tercatat berdampak nyaris selama satu dekade. Bursa Jepang mencapai titik nadir pada tahun 2003 dan kembali terhantam oleh badai krisis subprime yang terjadi pada tahun 2008 lalu. Bubble aset yang terjadi di Jepang pada periode 80 -90 tersebut disebut sebagai “Dekade yang Hilang”.

Krisis subprime yang mencapai puncaknya pada tahun 2008 dan telah mengakibatkan hancurnya bursa asham dan berbagai lembaga keuangan dunia juga merupakan salah satu contoh bubble ekonomi. Amerika Serikat mengalami bubble property pada periode 2006 -2007. Pada saat itu banyak para pembeli rumah sebenarnya tidak memiliki kelayakan untuk menerima kredit. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan maraknya gagal bayar kredit yang mengakibatkan penyitaan terhadap aset yang pada akhirnya menimbulkan pecahnya bubble tersebut.

Instrumen Investasi yang Berpotensi Timbulkan “Bubble”
Salah satu instrument investasi yang secara luas diperkirakan memiliki potensi untuk menciptakan bubble adalah T-Bills yang dikeluarkan oleh pemerintah AS. Menurut “suhu” investasi, Warren Buffett, T-Bills pemerintah AS merupakan investasi yang boleh dibilang saat ini tidak ada harganya.

Menurut Buffett peringkat AAA yang dimiliki oleh obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah AS ini bukan sebuah jaminan atas investasi yang aman. Justru ia menyatakan bahwa dengan langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah dan bank sentral AS untuk menanggulangi krisis keuangan dan berusaha memulihkan ekonomi AS dari keterpurukan terburuk sejak Depresi Hebat, stimulus akan membawa kondisi inflasi yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini sangat berbahaya bagi para pelaku pasar yang investasinya memiliki pendapatan tetap. Menurut Buffett kondisi bubble yang dapat ditimbulkan oleh obligasi pemerintah AS ini sama berbahayanya dengan bubble property Jepang di tahun 80 – 90-an lalu.

Dalam sebuah wawancara dengan David Cui, strategis BofA untuk China, ia mengatakan bahwa China memiliki kemungkinan untuk mengalami bubble asset pada tahun 2010 ini. Menurutnya akan terjadi migrasi modal yang luar biasa besar dari China yang disebabkan oleh suku bunga real yang negative. Penyebab dari kondisi ini tidak lain adalah inflasi.

Menurut Cui tingkat suku bunga tabungan di bank akan jatuh di bawah level inflasi yang terjadi. Jika demikian maka akan terjadi migrasi tabungan di mana akan lebih sedikit orang yang menaruh uangnya dalam bentuk tabungan di China. Kondisi ini dapat mengakibatkan pasar saham dan property China mengalami penurunan tajam yang akan memicu pecahnya bubble.

(Ika Akbarwati/IA/vbn)

Tidak ada komentar:

Kalkulator finansial

Daily chess puzzle

Play online chess